Tidak ada tindakan partisipatif dari pemerintah Provinsi Bengkulu untuk menyelamatkan lingkungan guna meminimalisir pemanasan global. Sebaliknya eksploitasi Sumber Daya Alam dan kerusakan lingkungan malah semakin tinggi”, kata Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu, Zenzi Suhadi.
Sejumlah konsesi tambang yang jelas-jelas bermasalah seperti milik PT Danau Mas Hitam dan PT Bukit Sunur di Bengkulu Utara dan PT Famiterdio Nagara serta milik PT Bukit Bara Utama (BBU) di Seluma hingga saat ini belum dicabut. “Padahal jelas-jelas keempat perusahaan ini sudah terindikasi melakukan pelanggaran dan berperan aktif mempercepat laju kerusakan lingkungan di Bengkulu”, katanya.
Atas kondisi itu sejak 2008, Walhi Bengkulu telah menyusun sejumlah agenda advokasi lingkungan dengan mengangkat beberapa isu strategis yang wajib diselamatkan di antaranya kawasan-kawasan genting atau kawasan yang apabila mengalami kerusakan akan berdampak pada kerusakan di sekeliling kawasan tersebut.
Seperti kawasan daerah aliran sungai (DAS) atau hulu sungai yang apabila terganggu akan menimbulkan efek berganda, seperti banjir yang terjadi hampir di seluruh kawasan Bengkulu, jelasnya.
Walhi juga menyoroti perlunya penyelamatan kawasan penyangga yang semakin terancam oleh ekspansi perkebunan besar swasta dan perambahan yang terjadi hampir merata di seluruh kabupaten. Sektor tambang, perkebunan besar swasta, juga mengancam kelestarian pantai barat Bengkulu sepanjang lebih 500 km dari eksploitasi.
Walhi juga mendorong gerakan lingkungan menjadi gerakan sosial sehingga masyarakat dapat secara sadar mengadvokasi hak-haknya atas lingkungan, katanya. Kordinator Komunitas Hijau Rakyat Bengkulu (KHRB) Ali Akbar juga mengatakan hal serupa. Eksploitasi selama 2008 cenderung lebih tinggi dibanding upaya pelestarian.
Ali Akbar mengatakan secara garis besar kawasan Bengkulu dibagi dua yaitu kawasan dataran tinggi yang membentang bersama Bukit Barisan dan kawasan dataran rendah yang ditopang Pantai Barat Bengkulu. Bengkulu memiliki 900 ribu ha lebih kawasan lindung dan konservasi.
Dari sisi kebijakan baik daerah dan kabupaten, selama 2008 tidak ada peningkatan signifikan untuk menyelamatkan kedua bagian besar ini, katanya. Ali Akbar menyebutkan dampak fatal dari eksploitasi tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan telah mengakibatkan Bengkulu kehilangan Cagar Alam Mukomuko I dan sebagian CA Mukomuko II di Kabupaten Mukomuko akibat abrasi pantai.
Menurutnya buruknya sistem kelola lingkungan di darat dan laut juga telah mengakibatkan terjadinya peningkatan luas daratan yang terkikis ombak dari 1,5 meter per tahun menjadi 2 meter per tahun. Akibatnya beberapa bagian jalan negara yang terbentang di sepanjang pantai barat saat ini sudah amblas seperti di daerah Bengkulu Utara dan Mukomuko, tambahnya.
Eksploitasi
Mantan Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu ini juga menilai hingga saat ini belum muncul inisiatif dari eksekutif dan legislatif untuk mengimplementasikan peraturan pemerintah pusat terkait pelestarian lingkungan di antaranya Keppres 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung dan UU Kehutanan No 41 tahun 1999. “Ini merupakan indikasi tidak adanya niat dari Pemda untuk melestarikan kawasan dan hanya ingin meningkatkan pendapatan daerah melalui eksploitasi alam”, katanya.
Menurut dia, selama 2008 tidak ada upaya signifkan terhadap pelestarian lingkungan. Upaya kalangan penggiat lingkungan atau lembaga swadaya masyarakat untuk menghentikan laju kerusakan, juga tidak memberikan dampak berarti, karena laju ekploitasi jauh lebih tinggi.
Direktur Yayasan Ulayat Bengkulu Oka Adriansyah juga mengungkapkan hingga saat ini belum ada strategi pemerintah provinsi untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa melalui eksploitasi alam.
“Gubernur hanya mengandalkan sektor perkebunan dengan revitalisasi sawit. Ini membuktikan tidak langkah kreatif untuk meningkatkan pendapatan daerah selain mengeksploitasi alam”, katanya.
Indikasi ekspliotasi itu, kata Oka, juga dipraktekkan dengan melakukan pemekaran baru yaitu Bengkulu Tengah pada November 2008. Langkah ini akan kian merusak lingkungan karena enam kecamatan yang dimekarkan di daerah itu masuk dalam kawasan daerah aliran sungai Air Bengkulu.
Pembangunan perkantoran, jalan serta sektor yang perkebunan yang diandalkan sebagai sumber PAD akan menghancurkan daerah aliran sungai dan Kota Bengkulu akan menjadi daerah yang paling parah menanggung akibat pembangunan tersebut.
“Sekarang saja banjir di Kota Bengkulu merupakan banjir terbesar jika dibanding tahun-tahun sebelumnya, ini karena kawasan hutan di hulu sungai Air Bengkulu sudah terbuka”, katanya.
Oka mengatakan dalam waktu dekat Ulayat akan menyampaikan pesan dan meminta Pemda Bengkulu Tengah mengindahkan kaidah konservasi. Selain itu, pengrusakan juga masih terus berlangsung atas Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang meliputi empat wilayah provinsi yaitu Bengkulu, Palembang, Padang dan Jambi.
Menurut Musnardi Munir, koordinator Aliansi Konservasi Alam Raya (AKAR) Network gabungan delapan lembaga pemerhati lingkungan dari empat provinsi yang fokus pada pelestarian TNKS menyebutkan hingga 2008 kasus pelanggaran hukum di dalam kawasan masih terus terjadi.
Selain kasus perambahan hutan dan penebangan liar, sejumlah daerah seperti Pemkab Kambang dan Muara Labuh Sumatera Barat masih berniat membuka jalan tembus membedah TNKS.
Untuk Bengkulu terdapat dua inisiatif pembukaan jalan membedah TNKS, di Muko-muko menghubungkan Sungai Ipuh ke Lempur Jambi dan di Lebong Muara Tapus ke Musi Rawas, Palembang yang rencananya ditembuskan ke Merangin, Jambi, katanya.
Dari studi AKAR Network yang melibatkan tiga LSM dari Bengkulu yaitu Eksekutif Walhi, Genesis, dan Kanopi, kata Musnardi, diketahui bahwa luas kawasan TNKS di Bengkulu yang lebih dari 300 ribu ha dari 1,3 juta ha luas total kawasan sangat rawan dari ancaman perambahan baik oleh swasta maupun masyarakat. “Di TNKS, sejumlah oknum pejabat sengaja mendorong masyarakat untuk merambah”, katanya.
Peningkatan status pengelolaan dari Balai menjadi Balai Besar yang dipimpin eselon II menurut Musnardi tidak berpengaruh signifikan dalam pengelolaan dan pelestarian kawasan.
Tidak ada pengaruh signifikan dengan peningkatan status, Balai Besar mengeluhkan minimnya jumlah Polhut yang hanya 109 orang untuk mengamankan TNKS seluas 1,3 juta ha, katanya.
Menanggapi kondisi ini Anggota Komisi II DPRD Provinsi Bengkulu Buyung Kasdi mengatakan pemerintah perlu mencari solusi untuk mengatasi persoalan kerusakan lingkungan di Bengkulu.
Sejumlah kasus saat ini tengah ditangani Polda Bengkulu seperti kasus pembalakan liar di Kabupaten Seluma, dan penambangan di kawasan lindung oleh dua perusahaan tambang. (ant)
http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6128:alam-bengkulu-semakin-rusak&catid=200:08-februari-2009&Itemid=207